Langsung ke konten utama

BENARKAH GURU SEBELUM ERA 98 JAUH LEBIH BAIK

Setelah keliling dari satu tempat ke tempat yang lain pada beberapa belahan provinsi di Indonesia untuk sekedar sharing pengetahuan dan pengalaman di bidang pendidikan dan pengajaran, terdapat satu pertanyaan umum yang relatif sama disampaikan oleh peserta Diklat, Bimtek, Workshop, maupun Seminar. Pertanyaannya adalah: Mengapa guru sekarang yang notabene lulusan S1, tidak sedikit S2 bahkan S3 TIDAK menghasilkan murid dengan performansi kompetensi yang lebih baik jika dibandingkan dengan guru sebelumnya yang hanya jebolan SPG/PGA, D1/D2 atau D3?


Pertanyaan sederhana tersebut tentu tidak sesederhana jawabannya. Mereka melihat fakta-fakta yang menggelitik pikirannya atau bahkan menghantam jiwanya hingga emosinya tak terkendali saat bertanya (di beberapa tempat). Bahkan pertanyaan tersebut seolah terlegitimasi secara universal, dengan diamininya oleh hampir seluruh peserta yang lain. Dan, acapkali peserta tidak puas untuk berdiskusi lebih lanjut pada saat break tiba. Hingga akhirnya "kepuasan" atas jawaban yang diperolehnya menghias sumringah wajah-wajahnya.

Kita paham bahwa dalam setiap Diklat, Workshop, atau apapun bentuknya, reaksi peserta tersebut seringkali muncul. Disamping karena memang masih penasaran dengan kepastian jawabannya, mereka seringkali mencoba "ngetes" kompetensi dan "kepiawaian" narasumber dalam meresponnya. Bahkan mereka seringkali menyebut nama besar narasumber lain sebelumnya yang memberi respon tapi tidak memuaskan.

Ok. Let's focus on the problem.

Ilustrasi berupa grafik berikut ini mungkin dapat membantu atau menginspirasi respon atas pertanyaan tersebut.


Dari gambar tersebut, dapat dijelaskan bahwa, guru pada era sebelum tahun 1998 memiliki kompetensi yang secara akademik tidak terlalu tinggi. Namun demikian tantangan yang dihadapi sebagai dampak gobalisasi informasi tidak sekuat setelah era 1998. Dan demikian sebaliknya.

Pada era sebelum tahun 1998, serangan dampak global belum massif. Di sebagian besar daerah di Indonesia, termasuk di jawa, hanya keluarga tertentu sajalah yang memiliki aset informasi. Bahkan tidak sedikit masyarakat berjalan beratus-ratus meter hanya untuk pergi nonton TV, itupun hanya TVRI (sering dibaca TURI), dengan tayangan-tayangan terkontrol. Belum lagi dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap penegakan nilai-nilai moral dan sosial menjadi kontrol yang kuat terhadap trend perkembangan kejiwaan anak-anak. Lebih dari itu, para guru dan orang tua terikat dalam satu komitmen keikhlasan dan perjuangan.

Setelah era 1998, ketika demokrasi sudah dilepas dengan bebas (sebebas-bebasnya), globalisasi sudah masuk secara massive ke dalam setiap kamar rumah, bahkan dalam genggaman setiap keluarga. Hampir seluruh dimensi kehidupan terdampak pembiasan dan pembiusan global. Para orang tua mengalami degradasi kontrol terhadap anak, karena sebagian besar mereka juga sudah terdampak. Keadaan anak-anak juga semakin menghawatirkan, terlebih lagi didukung oleh peran lingkungan dan masyarakat yang (seolah-olah) menguatkan dampak-dampak tersebut, tak terkecuali para guru. 
Artinya, sedang terjadi massivisme dampak global yang kian melemahkan para guru yang dituntut untuk bekerja sendiri mencetak karakter generasi sebaik-baiknya, tanpa totalitas dukungan keluarga dan masyarakat. Kondisi demikian semakin diperparah oleh sikap antipati sebagian guru untuk menguasai teknologi. Akibatnya, kompetensi guru kian tidak seimbang dengan tuntutan global, yang berarti profesionalitasnya kian tertinggal semakin jauh di bawah tantangan global itu sendiri. 

Kesimpulannya, pertanyaan tersebut bisa tidak benar, jika guru terus mengembangkan profesinya melalui pengembangan diri berbasis teknologi informasi. Guru harus berusaha agar kompetensinya (sikap, pengetahuan, dan keterampilan) selalu di atas pengaruh perkembangan Informasi dan teknologi sebagai dampak globalisasi, dan tentu ke depan akan semakin sulit dan berat.

Bondowoso, 5 Mei 2014
Al Faqir







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wiro Sableng #98 : Rahasia Cinta Tua Gila

WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito Episode : TUA GILA DARI ANDALAS SATU Sepasang mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang tegak di hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya. "Siang telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi undangan." Si cadar kuning berkata. Sabai Nan Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa kali bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam hati Sabai Nan Rancak berkata. "Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya dia mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku dia seorang perempuan." "Waktuku tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuhar

Malaikat Kecil

Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, "Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan." Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Lala tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (curd rice). Lala anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibuku dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada ?cooling effect? (menurunkan panas dalam). Aku mengambil mangkok dan berkata, "Lala sayang, demi Papa, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti Mamamu akan teriak2 sama Papa." Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Lala mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata ?Papa, aku akan makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan aku habi

ORANG BESAR

Orang "besar" keturunan orang "besar" itu sudah biasa, karena mereka memang memiliki kesempatan terbuka untuk meraihnya. Tetapi menjadi "besar" di bawah sempitnya kesempatan memilikinya adalah luar biasa. Ketahuilah, bahwa setiap orang berhak meraihnya, apapun keadaannya. Bondowoso, Mei 2014 Al faqir