“Bingung”, barangkali itu
kata yang paling mendominasi pikiran hampir semua sekolah dan masyarakat
terhadap setiap kebijakan pendidikan yang ditebar. Bingung lantaran kebijakan
pendidikan ideal kontemporer pemberlakuannya seolah sulit diprediksi, sehingga
kekurangpahaman terhadap kebijakan baru terdahulu belum sirna sudah harus terganti dengan kebijakan pendidikan lain. Tak terlalu salah kalau di masyarakat kebijakan tersebut sering diplesetkan. Misalnya KBK singkatan dari Kurikulum Bingung Kabeh, atau KTSP singkatan dari Kurikulum Tidak Semua Paham dan lain-lain. Terlepas dari apapun
julukan yang diberikan masyarakat terhadap setiap tebaran kebijakan tersebut, yang sangat perlu mendapat perhatian adalah terjadinya gangguan transformasi dan internalisasi nilai-nilai edukasi, karena beberapa hal:
kekurangpahaman terhadap kebijakan baru terdahulu belum sirna sudah harus terganti dengan kebijakan pendidikan lain. Tak terlalu salah kalau di masyarakat kebijakan tersebut sering diplesetkan. Misalnya KBK singkatan dari Kurikulum Bingung Kabeh, atau KTSP singkatan dari Kurikulum Tidak Semua Paham dan lain-lain. Terlepas dari apapun
julukan yang diberikan masyarakat terhadap setiap tebaran kebijakan tersebut, yang sangat perlu mendapat perhatian adalah terjadinya gangguan transformasi dan internalisasi nilai-nilai edukasi, karena beberapa hal:
1.
Kurang sempurnanya pemahaman komponen sistem sekolah, baik kepala
sekolah, guru, orang tua dan bahkan pengawas sebagai pembinanya terhadap
kebijakan pendidikan pemerintah;
2. Terpakunya komponen sistem sekolah terhadap kebijakan
pendidikan lama, yang pada praktiknya sudah dianggap lebih mapan;
3. Masih melekatnya rasa takut salah dalam mencoba setiap
ide-ide dan inovasi-inovasi baru dibidang pendidikan pada para guru;
4.
Masih banyak guru yang enggan berimigrasi dari konsep
murid sebagai obyek belajar ke murid sebagai subyek pembelajaran;
5. Para guru dan pimpinan sekolah masih beranggapan bahwa
tidak akan terjadi pembelajaran optimal seperti yang dikehendaki kebijakan
terbaru jika sarana dan prasarana masih terbatas dan pemerintah belum mampu
memenuhinya;
6.
Masih lebih tingginya kepercayaan masyarakat terhadap
hasil akhir daripada proses instruksi dan edukasi itu sendiri;
7.
Semakin renggangnya hubungan antara sekolah dan masyarakat,
sehingga masyarakat kurang memiliki prinsip sense
of belonging;
8. Masih tingginya ketakutan guru, kepala sekolah, pihak
otoritas pendidikan dan masyarakat terhadap sistem ujian sebagai salah satu
komponen kecil dari sistem pendidikan;
9.
Rendahnya motivasi berprestasi bagi hampir semua sistem
sekolah;
10. Lemahnya
koordinasi, baik vertikal maupun horizontal antar dan inter komponen sistem
sekolah;
11.
Belum berjalannya sistem otonomi sekolah sebagai satuan
pendidikan secara maksimal;
12. Terlalu sempitnya pemaknaan “kesejahteraan” oleh berbagai
kalangan pendidikan dan masyarakat tertentu;
13. Dan
lain-lain.
Masalah-masalah tersebut
sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan hadir secara bersama-sama dalam
sistem sekolah. Dalam konteks demikian seolah nampak dengan jelas kompleksitas
masalah yang dihadapi sistem tersebut, sehingga sangat sulit bagi para
pengelola pendidikan untuk memulai mengentaskan permasalahan yang muncul.
Masalah pendidikan di Indonesia
bagai benang kusut, yang sangat sulit untuk menentukan dari mana kita harus
mengurai.
Sesulit itukah? Jawabannya
tidak.
Bagaimanapun setiap
kebijakan berangkat dari suatu motivasi yang luhur dan cita-cita yang sangat mulia. Setidaknya hal itulah
yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional (UUSPN No. 20 tahun 2003),
yakni setiap detak jantung kehidupan sekolah / pendidikan, sasaran utamanya
adalah manusia. Dengan demikian, sudah jelas bahwa implementasi sistem
pendidikan harus diarahkan pada perwujudan manusia Indonesia yang lebih sempurna
secara hakiki, bukan seolah-olah atau hanya ala kadarnya. Penyikapan yang baik
atas kesadaran tinggi terhadap humanisasi manusia yang esensial akan berekses
pada kesempurnaan implementasi transformasi dan edukasi di dalam dan diluar
kelas. Tidak ada alasan apapun untuk bingung, karena kesadaran tersebut justru
mengharuskan para pengelola pendidikan dan pengajaran, termasuk unsur
masyarakat untuk mengawali self
humanization, sebelum proses lebih lanjut dilangsungkan.
Mulai dari diri, kalau
tidak ingin gagal karena keengganann kita untuk human terlebih dahulu. Bisakah? PASTI BISA.
Komentar