Langsung ke konten utama

Kemana Sekolah Harus Bermuara (Sekolahku Gagal, bagian 5)



“Bingung”, barangkali itu kata yang paling mendominasi pikiran hampir semua sekolah dan masyarakat terhadap setiap kebijakan pendidikan yang ditebar. Bingung lantaran kebijakan pendidikan ideal kontemporer pemberlakuannya seolah sulit diprediksi, sehingga
kekurangpahaman terhadap kebijakan baru terdahulu belum sirna sudah harus terganti dengan kebijakan pendidikan lain. Tak terlalu salah kalau di masyarakat kebijakan tersebut sering diplesetkan. Misalnya KBK singkatan dari Kurikulum Bingung Kabeh, atau KTSP singkatan dari Kurikulum Tidak Semua Paham dan lain-lain. Terlepas dari apapun
julukan yang diberikan masyarakat terhadap setiap tebaran kebijakan tersebut, yang sangat perlu mendapat perhatian adalah terjadinya gangguan transformasi dan internalisasi nilai-nilai edukasi, karena beberapa hal:
1.    Kurang sempurnanya pemahaman komponen sistem sekolah, baik kepala sekolah, guru, orang tua dan bahkan pengawas sebagai pembinanya terhadap kebijakan pendidikan pemerintah;
2.  Terpakunya komponen sistem sekolah terhadap kebijakan pendidikan lama, yang pada praktiknya sudah dianggap lebih mapan;
3.  Masih melekatnya rasa takut salah dalam mencoba setiap ide-ide dan inovasi-inovasi baru dibidang pendidikan pada para guru;
4.    Masih banyak guru yang enggan berimigrasi dari konsep murid sebagai obyek belajar ke murid sebagai subyek pembelajaran;
5. Para guru dan pimpinan sekolah masih beranggapan bahwa tidak akan terjadi pembelajaran optimal seperti yang dikehendaki kebijakan terbaru jika sarana dan prasarana masih terbatas dan pemerintah belum mampu memenuhinya;
6.  Masih lebih tingginya kepercayaan masyarakat terhadap hasil akhir daripada proses instruksi dan edukasi itu sendiri;
7.    Semakin renggangnya hubungan antara sekolah dan masyarakat, sehingga masyarakat kurang memiliki prinsip sense of belonging;
8. Masih tingginya ketakutan guru, kepala sekolah, pihak otoritas pendidikan dan masyarakat terhadap sistem ujian sebagai salah satu komponen kecil dari sistem pendidikan;
9.    Rendahnya motivasi berprestasi bagi hampir semua sistem sekolah;
10. Lemahnya koordinasi, baik vertikal maupun horizontal antar dan inter komponen sistem sekolah;
11.  Belum berjalannya sistem otonomi sekolah sebagai satuan pendidikan secara maksimal;
12. Terlalu sempitnya pemaknaan “kesejahteraan” oleh berbagai kalangan pendidikan dan masyarakat tertentu;
13. Dan lain-lain.
Masalah-masalah tersebut sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan hadir secara bersama-sama dalam sistem sekolah. Dalam konteks demikian seolah nampak dengan jelas kompleksitas masalah yang dihadapi sistem tersebut, sehingga sangat sulit bagi para pengelola pendidikan untuk memulai mengentaskan permasalahan yang muncul. Masalah pendidikan di Indonesia bagai benang kusut, yang sangat sulit untuk menentukan dari mana kita harus mengurai.
Sesulit itukah? Jawabannya tidak.
Bagaimanapun setiap kebijakan berangkat dari suatu motivasi yang luhur dan cita-cita yang sangat mulia. Setidaknya hal itulah yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional (UUSPN No. 20 tahun 2003), yakni setiap detak jantung kehidupan sekolah / pendidikan, sasaran utamanya adalah manusia. Dengan demikian, sudah jelas bahwa implementasi sistem pendidikan harus diarahkan pada perwujudan manusia Indonesia yang lebih sempurna secara hakiki, bukan seolah-olah atau hanya ala kadarnya. Penyikapan yang baik atas kesadaran tinggi terhadap humanisasi manusia yang esensial akan berekses pada kesempurnaan implementasi transformasi dan edukasi di dalam dan diluar kelas. Tidak ada alasan apapun untuk bingung, karena kesadaran tersebut justru mengharuskan para pengelola pendidikan dan pengajaran, termasuk unsur masyarakat untuk mengawali self humanization, sebelum proses lebih lanjut dilangsungkan.
Mulai dari diri, kalau tidak ingin gagal karena keengganann kita untuk human terlebih dahulu. Bisakah? PASTI BISA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wiro Sableng #98 : Rahasia Cinta Tua Gila

WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito Episode : TUA GILA DARI ANDALAS SATU Sepasang mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang tegak di hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya. "Siang telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi undangan." Si cadar kuning berkata. Sabai Nan Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa kali bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam hati Sabai Nan Rancak berkata. "Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya dia mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku dia seorang perempuan." "Waktuku tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuhar

Malaikat Kecil

Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, "Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan." Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Lala tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (curd rice). Lala anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibuku dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada ?cooling effect? (menurunkan panas dalam). Aku mengambil mangkok dan berkata, "Lala sayang, demi Papa, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti Mamamu akan teriak2 sama Papa." Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Lala mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata ?Papa, aku akan makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan aku habi

ORANG BESAR

Orang "besar" keturunan orang "besar" itu sudah biasa, karena mereka memang memiliki kesempatan terbuka untuk meraihnya. Tetapi menjadi "besar" di bawah sempitnya kesempatan memilikinya adalah luar biasa. Ketahuilah, bahwa setiap orang berhak meraihnya, apapun keadaannya. Bondowoso, Mei 2014 Al faqir