Fakta yang berkembang bahwa tidak
sedikit institusi yang menerapkan manajemen otoriter. Semua harus tunduk pada
pimpinan, bukan pada sistem organisasinya. Pola tersebut, tidak saja legitimate dalam lingkup organisasi itu
sendiri, bahkan pada tatanan dan pranata sosial yang berkembang di masyarakat
sekitarnya. Institusi demikian akhirnya memiliki tingkat kekuatan pengaruh yang
tinggi terhadap implementasi sistem organisasi dan masyarakat sekitarnya
(paternalistik). Sekolah bahkan masyarakat benar-benar dipola oleh
kekuatan
individu pimpinan. Apakah hal tersebut salah?
Diakui atau tidak, lembaga dengan kekuatan
tunggal penguasa yang dipatuhi dan dihormati merupakan kekuatan besar yang
positif. Penghormatan dan kepatuhan yang bersumber dari faktor kharisma
pimpinan akan menciptkan kekuatan-kekuatan kecil dari bawahan / staf yang
terakumulasi menjadi kekuatan besar dan melahirkan peran esensial bagi
keberhasilan organisasi itu sendiri. Pattern
tersebut akan semakin menguat jika didukung oleh faktor-faktor lainnya,
misalnya pola pikir obyektif dan transparan, kemampuan menganalisis kekuatan
dan kelemahan organisasi, visi dan misi yang jelas dan kecakapan
mendefinisikannya, futuristic, serta
memiliki motivasi berprestasi yang tak pernah berhenti dan tindak tutur
dilandasi akhlaq mulia. Sikap otoriter pimpinan yang demikian akan mampu
melahirkan kepatuhan kolektif yang dinamis, dimana setiap individu di lembaga
tersebut tidak sekedar menjalankan tugas dengan kesadaran semu (rasa takut),
lebih dari itu mereka akan mengimplementasi kepatuhannya dengan sikap-sikap
yang kreatif dan dinamis, walaupun masih harus dikonsultasikan dengan pimpinan
(minta restu). Sikap para staf demikian menjadi suri teladan bagi para murid
dan orang tua serta masyarakat, sehingga terjalin komunikasi searah dan terintegrasi.
Lembaga demikian biasanya sangat kondusif bagi sebuah perubahan yang
dikehendaki pimpinan. Bukan berarti bahwa lembaga demikian akan menghasilkan
out-put yang pasif, karena pada hakikatnya setiap manusia sulit untuk
dikendalikan untuk tetap pasif, tetapi akan terbangun akhlaq kependidikan yang
terarah dengan tetap mengedepankan unsur-unsur dinamis setiap individu. Dengan
karakter pemimpin seperti itu, orientasi dan implementasi otoritas organisasi
tidak dapat dipastikan dapat membungkam kreativitas dinamis seseorang, tetapi
justru memungkinkan terbentuknya sindividu yang lebih kreatif dan dinamis dalam
kedewasaan dan kesantunan.
Banyak lembaga yang menerapkan model
kepemimpinan otoriter berhasil merealisasi program manajerialnya dengan baik.
Kebaikan manajerial tersebut tidak saja diindikasi oleh out-put yang
berkualitas lahiriah dan batiniah, melainkan juga secara sporadis berefek
kepada masyarakat sekitar bahkan pada otoritas formal lainnya. Tetapi banyak
pula yang gagal meraih hasil yang dikehendaki, karena pra-syarat yang harus ada
pada diri pimpinan diatas tidak dimiliki atau tidak dipahami secara utuh,
sehingga implementasi kebijakannya hanya menciptakan komunikasi semu yang
didalamnya timbul riak-riak konflik individual maupun internal organisasi
tersembunyi. Dampaknya, organisasi berjalan hanya “seolah-olah” baik, lancar,
terkendali. Tidak ada ketulusan dan semangat berprestasi dalam setiap lini
organisasi. Organisasi berjalan tanpa didukung “ruh” dan etos juang
menintegrasikan ruh tersebut kedalam jiwa-jiwa individu dalam organisasi. Majanemen
berjalan tanpa fasilitas kesungguhan meraih prestasi, tetapi justru dilumuri
dengan konflik, kecurigaan, saling mencari bmuka, laporan fiktif, asal bapak
senang, data-data abunawas, bahkan kebersamaan untuk melemahkan organisasi dari
dalam yang menampak secara laten. Perjuangan menegakkan kepentingan ummat
berubah menjadi lahan untuk memenuhi hasrat pribadi. Pengabdian yang tulus
berganti menjadi semangat kerja berbasis finansial. Dalil-dalil hakiki berubah
menjadi model-model iklan yang ditujukan untuk menarik keyakinan dan
kepercayaan masa secara super facial. Prestasi
yang pernah diraih dengan perjuangan penuh resiko akhirnya hanya menjadi sebuah
komoditi strategis, walaupun hanya bersifat sesaat Transparansi program berubah
menjadi agitasi dan pemerkosaan masyarakat. “Nama besar” seseorang telah
dimanfaatkan untuk sekedar meyakinkan masrakat bahwa lembaga tersebut tetap
konsisten dengan programnya. Dan lain-lain. Pola pikir dan sikap pemimpin demikian mengindikasi
pada pattern “Ikuti aku, Harus!!!.
Segalanya telah menjadi “seolah-olah”, maka hasilnya
adalah hasil seolah-olah. Kebohongan dan ketidakjujuran berkembang dan
dikembangkan dalam kemasan apik. Lembaga demikian, pada hakikatnya telah
terjebak dalam agenda besar kehancuran.
Komentar