Jaman jahiliah adalah jaman
dimana pembodohan selalu dipaksakan kepada sebagian besar masyarakat. Kecerdasan,
kepandaian, kecerdikan, kecendikiawanan, dan keahlian pada bidang kajian ilmu
tertentu hanya menjadi hak bahkan kewajiban para penguasa dan kaki-tangannya
dan haram bagi masyarakat lainnya. Proses pencarian kebenaran
terbelenggu oleh kepentingan terang-terangan para raja dan
orang kuat lainnya. Ilmu dipasung yang berdampak pada terpasungnya masyarakat luas untuk berkembang sesuai dengan fitrahnya. Demikianlah, Ilmu sangat identik dengan kekuasaan dan penguasaan kefitrahan
anak-anak bangsa yang hanya dilakukan untuk memudahkan invasi dan kelanggengan “jahiliyah”. Disaat Tuhan menolong ummat-Nya dengan firma-firman-Nya melalui para Rasul, proses pencerahan mulai menampak, walaupun skeptisisme terus meradang sejalan dengan semakin gemuknya praktik “paganism” yang memang layak ada sebagai akibat proses berkembangnya rasa ingin tahu (curiosity). Dari sinilah awal terjadinya proses transformasi ide dan informasi, yakni hadir dengan segala konsekuensinya sebagai bentuk respon dari pertanyaan-pertanyaan besar yang berkembang sebagai dalih proses “de-jahiliah-isasi” dan “curiosity”.
orang kuat lainnya. Ilmu dipasung yang berdampak pada terpasungnya masyarakat luas untuk berkembang sesuai dengan fitrahnya. Demikianlah, Ilmu sangat identik dengan kekuasaan dan penguasaan kefitrahan
anak-anak bangsa yang hanya dilakukan untuk memudahkan invasi dan kelanggengan “jahiliyah”. Disaat Tuhan menolong ummat-Nya dengan firma-firman-Nya melalui para Rasul, proses pencerahan mulai menampak, walaupun skeptisisme terus meradang sejalan dengan semakin gemuknya praktik “paganism” yang memang layak ada sebagai akibat proses berkembangnya rasa ingin tahu (curiosity). Dari sinilah awal terjadinya proses transformasi ide dan informasi, yakni hadir dengan segala konsekuensinya sebagai bentuk respon dari pertanyaan-pertanyaan besar yang berkembang sebagai dalih proses “de-jahiliah-isasi” dan “curiosity”.
Revolusi
pengetahuan berkembang bukan tanpa “musuh”. Para pembuka jalan pengetahuan
harus berhadapan dengan doktrin kerajaan bahkan institusi “agama”. Tidak
sedikit diantara mereka harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan ataupun
tebasan pedang. Namun revolusi tidak pernah berakhir, sebab kesadaran
pentingnya pengetahuan terus tumbuh dan berkembang secara sporadis. Hingga
akhirnya kebutuhan terhadap diskursus sistem transformasi pengetahuan dengan
mengedepankan maksimalisasi potensi individu terus berkembang dibawah tekanan
urgensifitasnya. Sekolah sebagai institusi formal dengan legalitas terpercaya
(terakreditasi) akhirnya harus lahir dan terus disempurnakan, tidak sekedar
menangkap “curiosity”, melainkan wadah yang mampu merekam jejak, fenomena dan
trend alamiah kehidupan manusia, alam, bahkan Tuhan dan segala ciptaan-Nya
secara sistematis agar dapat tersaji secara sistematis pula menurut kadar
perkembangan masing-masing individu (kurikulum).
Dari konteks
ini dapat ditegaskan bahwa adanya sekolah bukanlah disebabkan oleh keinginan
baik individu, melainkan sebuah tuntutan komunitas atas kebutuhan-kebutuhannya
guna dapat beradaptasi bahkan meng-kulturasi ide, norma, informasi, nilai-nilai
yang disepakati dan laik untuk diimplementasikan dalam kehidupannya
sehari-hari. Dengan sekolah, manusia tidak lagi sebagai objek perubahan tetapi
justru sebagai penggagas perubahan itu sendiri. Perlahan tapi pasti, sekolah
sebagai “mini society” juga harus menjadi “agent of change”. Manusia butuh
sekolah untuk belajar dan mengembangkan ide-ide kreatif dan potensi kejiwaannya
supaya dapat bertahan hidup dan mempertahankan kehidupannya dalam atmosfer yang
kondusif.
Esensi sekolah harus berpihak dan dipihakkan
kepada masyarakat banyak, bukan pada individu-individu tertentu yang “punya
kepentingan” tertentu. Jika tidak, sekolah tak akan pernah sukses.
Komentar