Langsung ke konten utama

Sekolahku Gagal. (bagian 1)


Jaman jahiliah adalah jaman dimana pembodohan selalu dipaksakan kepada sebagian besar masyarakat. Kecerdasan, kepandaian, kecerdikan, kecendikiawanan, dan keahlian pada bidang kajian ilmu tertentu hanya menjadi hak bahkan kewajiban para penguasa dan kaki-tangannya dan haram bagi masyarakat lainnya. Proses pencarian kebenaran terbelenggu oleh kepentingan terang-terangan para raja dan
orang kuat lainnya. Ilmu dipasung yang berdampak pada terpasungnya masyarakat luas untuk berkembang sesuai dengan fitrahnya. Demikianlah, Ilmu sangat identik dengan kekuasaan dan penguasaan kefitrahan
anak-anak bangsa yang hanya dilakukan untuk memudahkan invasi dan kelanggengan “jahiliyah”. Disaat Tuhan menolong ummat-Nya dengan firma-firman-Nya melalui para Rasul, proses pencerahan mulai menampak, walaupun skeptisisme terus meradang sejalan dengan semakin gemuknya praktik “paganism” yang memang layak ada sebagai akibat proses berkembangnya rasa ingin tahu (curiosity). Dari sinilah awal terjadinya proses transformasi ide dan informasi, yakni hadir dengan segala konsekuensinya sebagai bentuk respon dari pertanyaan-pertanyaan besar yang berkembang sebagai dalih proses “de-jahiliah-isasi” dan “curiosity”.

Revolusi pengetahuan berkembang bukan tanpa “musuh”. Para pembuka jalan pengetahuan harus berhadapan dengan doktrin kerajaan bahkan institusi “agama”. Tidak sedikit diantara mereka harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan ataupun tebasan pedang. Namun revolusi tidak pernah berakhir, sebab kesadaran pentingnya pengetahuan terus tumbuh dan berkembang secara sporadis. Hingga akhirnya kebutuhan terhadap diskursus sistem transformasi pengetahuan dengan mengedepankan maksimalisasi potensi individu terus berkembang dibawah tekanan urgensifitasnya. Sekolah sebagai institusi formal dengan legalitas terpercaya (terakreditasi) akhirnya harus lahir dan terus disempurnakan, tidak sekedar menangkap “curiosity”, melainkan wadah yang mampu merekam jejak, fenomena dan trend alamiah kehidupan manusia, alam, bahkan Tuhan dan segala ciptaan-Nya secara sistematis agar dapat tersaji secara sistematis pula menurut kadar perkembangan masing-masing individu (kurikulum).

Dari konteks ini dapat ditegaskan bahwa adanya sekolah bukanlah disebabkan oleh keinginan baik individu, melainkan sebuah tuntutan komunitas atas kebutuhan-kebutuhannya guna dapat beradaptasi bahkan meng-kulturasi ide, norma, informasi, nilai-nilai yang disepakati dan laik untuk diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan sekolah, manusia tidak lagi sebagai objek perubahan tetapi justru sebagai penggagas perubahan itu sendiri. Perlahan tapi pasti, sekolah sebagai “mini society” juga harus menjadi “agent of change”. Manusia butuh sekolah untuk belajar dan mengembangkan ide-ide kreatif dan potensi kejiwaannya supaya dapat bertahan hidup dan mempertahankan kehidupannya dalam atmosfer yang kondusif.
Esensi sekolah harus berpihak dan dipihakkan kepada masyarakat banyak, bukan pada individu-individu tertentu yang “punya kepentingan” tertentu. Jika tidak, sekolah tak akan pernah sukses.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wiro Sableng #98 : Rahasia Cinta Tua Gila

WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito Episode : TUA GILA DARI ANDALAS SATU Sepasang mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang tegak di hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya. "Siang telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi undangan." Si cadar kuning berkata. Sabai Nan Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa kali bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam hati Sabai Nan Rancak berkata. "Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya dia mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku dia seorang perempuan." "Waktuku tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuhar

ORANG BESAR

Orang "besar" keturunan orang "besar" itu sudah biasa, karena mereka memang memiliki kesempatan terbuka untuk meraihnya. Tetapi menjadi "besar" di bawah sempitnya kesempatan memilikinya adalah luar biasa. Ketahuilah, bahwa setiap orang berhak meraihnya, apapun keadaannya. Bondowoso, Mei 2014 Al faqir

Malaikat Kecil

Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, "Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan." Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Lala tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (curd rice). Lala anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibuku dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada ?cooling effect? (menurunkan panas dalam). Aku mengambil mangkok dan berkata, "Lala sayang, demi Papa, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti Mamamu akan teriak2 sama Papa." Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Lala mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata ?Papa, aku akan makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan aku habi