Secara esensial, eksistensi
sekolah sangat strategis dalam dua hal, yakni pertama, sebagai institusi yang
merepresentasi totalitas aspek yang berkembang di masyarakat, kedua sebagai agent of change, yakni aspek-aspek yang
berkembang di
masyarakat dihimpun, diolah, dikembangkan untuk dapat disajikan secara tepat menurut level perkembangan peserta didik agar mereka menjadi agen-agen perubahan
masyarakat di sekitarnya.
masyarakat dihimpun, diolah, dikembangkan untuk dapat disajikan secara tepat menurut level perkembangan peserta didik agar mereka menjadi agen-agen perubahan
masyarakat di sekitarnya.
Dalam konteks yang kedua, sekolah
didudukkan sebagai lembaga yang independen dengan tingkat powerful tinggi dan otonom. Masyarakat sangat bergantung kepada out-put
sekolah. Bahkan sekolahlah yang diharapkan menjadi tulang-punggung peradaban
yang tengah dan akan terjadi di masyarakat. Sosok
sekolah seperti “dewa”, yang menjadi satu-satunya tumpuan kemapanan hidup
masyarakat. Sekolah adalah “cermin” masyarakat (mini society) yang seharusnya mengedepankan sifat-sifat mulia dan
bertugas mengeksplorasi dan mengembangkan hakikat “manusia tanpa dosa”
sebagaimana para calon peserta didik baru dilahirkan. Bahkan sekolah diharapkan
mampu untuk meneruskan tugas sebagai penyelamat manusia agar tetap konsisten dalam
predikatnya sebagai pemenang atau para juara, baik dalam konteks kediriannya
sebagai manusia, maupun dalam hubungannya dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Selanjutnya,
otonomi sekolah sangat diperlukan, karena memang posisinya sangat utama. Keutamaan tersebut bukan saja disebabkan
mulianya ajaran yang disampaikan tetapi juga blue print masyarakat ada pada sekolah. Tidak berlebihan kiranya
kalau akhirnya digaris bawahi bahwa “karakter masyarakat bergantung kepada
karakter sekolah”.
Tetapi “school is not
everything”. Sebagai perangkum, pengelola dan pengembang sistem masyarakat,
kedudukan sekolah tidak akan bermakna tanpa kehadiran masyarakat. Masyarakat
bukan sekedar tempat berlabuh para jawara sekolah, melainkan kebermaknaan
kurikulumnya justru ditentukan dari seberapa berperannya para jawara tersebut
dapat mengambil bagian dalam pengembangan masyarakatnya. Hakikatnya, harus
terjadi sharing antara keduanya. Kesepahaman
bersama dan seimbang antara keduanya akan menjamin kesempurnaan langkah dan
keberhasilan proses transformasi dan edukasi para kandidat masyarakat masa
depan.
Masyarakat adalah laboratorium
sekaligus alat bukti yang paling strategis bagi proses trial and error yang dilakukan sekolah. Laboratorium dan alat bukti
tersebut akan menyajikan segudang informasi konstruktif dan urgen bagi agent of change. Kompromi mutualistis ini tidak boleh dihindari karena
pertautan tersebut merupakan pertautan hakiki dan manusiawi yang wajib adanya. Inilah
oligopoly yang wajib dilakukan. Jika tidak, sekolah pasti gagal. Kesepahaman
bersama akan pentingnya peran berbeda pada diri sekolah dan masyarakat
merupakan garansi yang sudah niscaya dan asasi terhadap keberhasilan kedua
belah pihak.
Komentar