Langsung ke konten utama

Pendidikan Berbasis Filosofi Sinetron (Sekolahku Gagal, bagian 4)


Fenomena, nilai, norma dan trend yang berkembang di masyarakat yang diakumulasi ke dalam sistem sekolah hakikatnya merupakan realitas obyektif. Obyektivitas tersebut mengharuskan adanya proses trasnformasi dan edukasi yang
obyektif sehingga para muridpun dapat memahami setiap penerjemahan sistem sekolah apa adanya.
Pemaknaan yang benar dan apa adanya, baik dalam konteks konsepsional maupun operasional secara langsung berkontribusi terhadap pewarnaan dan
pencitraan anak-anak bangsa secara individual maupun kolektif. Dari sinilah proses internalisasi nilai dapat berkembang secara efektif dan efisien. Suatu proses dimana fitrah manusia memungkinkan berkembang konsisten dan dinamis. Proses tabularasa yang dikehendaki semua manusia yang normal (John Locke) yang terus mengedepankan perjuangan dengan hakikat kebenaran yang bukan sekedar relatif  namun pasti yakni memposisikan manusia tetap sebagai pemenang atau sebaik-baik ciptaan Tuhan (QS: At Tiin).
Namun demikian, implementasi keharusan filosofis tersebut dalam perkembangannya, disengaja atau tidak telah mengalami degradasi. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi logis dari dinamika individualitas manusia dalam menyikapi setiap denyut nadi kehidupan yang mengitarinya. Lingkungan ternyata memberikan pewarnaan yang dominan terhadap tumbuh dan berkembangnya konsep dan implementasi sistem edukasi pada setiap masyarakat dibanding dengan warisan genetikal yang diturunkan pendahulunya. Dominasi lingkungan (environment) yang didukung lemahnya sistem bawaan (hereditas) serta terbatasnya integritas terhadap diri dan norma yang harus diikuti, semakin mendegradasi transliterasi sistem sekolah ke tengah-tengah peradaban masyarakat dengan pasti. Realiatas tersebut akan menjadi semakin menghawatirkan ketika antara sekolah dan masyarakat melakukan bargaining yang mengedepankan prinsip “enak” daripada “baik” atau “dipermudah” daripada “mudah” atau “yang penting beres”. Semakin tidak jelaslah konsep pendidikan berkembang berikut implementasinya. Jalinan cinta kasih antara dua komponen pendidikan tersebut tak ubahnya seperti sinetron, karena nilai-nilai filosofis yang mendasarinya telah benar-benar merujuk pada filosofi sinetron, dengan sistem yang memang sudah tertata apik, diimplementasi dengan apik, bahkan memberikan pengaruh langsung pada pemirsa, toh ujung-ujungnya “alah…, hanya sandiwara ya?”. Segalanya serba bersandiwara. Sekolah dengan rekomendasi masyarakat hanya melahirkan para artis baru dengan menghasilkan karakter yang hanya “sandiwara”. Lihatlah bagaimana hasil UAN yang tinggi tidak lagi merepresentasi kualitas yang sesungguhnya. Lihatlah bagaimana sistem manajemen berbasis sekolah yang justru kurang berdampak signifikan terhadap manajemen sekolah secara totalitas, dan perhatikanlah pengaruh predikat guru professional yang ditandai dengan sertifikat profesi kurang mampu menjamin peningkatan kualitas diri dan lembaganya.
Semuanya hanya berpura-pura, atau setidak-tidaknya hanya dibuat-buat atau terpaksa melakukannya. Filosofi pendidikan berbasis filosofi sinetron tak akan mampu melepaskan sekolah dari predikat “sekolah gagal”. Kesungguhan sebagaimana keseriusan menunaikan tanggung jawab terhadap amanah “murid” adalah keharusan. Hakikatnya setiap manusia bisa melakukannya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wiro Sableng #98 : Rahasia Cinta Tua Gila

WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito Episode : TUA GILA DARI ANDALAS SATU Sepasang mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang tegak di hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya. "Siang telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi undangan." Si cadar kuning berkata. Sabai Nan Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa kali bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam hati Sabai Nan Rancak berkata. "Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya dia mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku dia seorang perempuan." "Waktuku tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuhar

ORANG BESAR

Orang "besar" keturunan orang "besar" itu sudah biasa, karena mereka memang memiliki kesempatan terbuka untuk meraihnya. Tetapi menjadi "besar" di bawah sempitnya kesempatan memilikinya adalah luar biasa. Ketahuilah, bahwa setiap orang berhak meraihnya, apapun keadaannya. Bondowoso, Mei 2014 Al faqir

Malaikat Kecil

Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, "Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan." Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Lala tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (curd rice). Lala anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibuku dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada ?cooling effect? (menurunkan panas dalam). Aku mengambil mangkok dan berkata, "Lala sayang, demi Papa, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti Mamamu akan teriak2 sama Papa." Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Lala mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata ?Papa, aku akan makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan aku habi