Fenomena, nilai, norma dan trend
yang berkembang di masyarakat yang diakumulasi ke dalam sistem sekolah
hakikatnya merupakan realitas obyektif. Obyektivitas tersebut mengharuskan
adanya proses trasnformasi dan edukasi yang
obyektif sehingga para muridpun dapat memahami setiap penerjemahan sistem sekolah apa adanya.
obyektif sehingga para muridpun dapat memahami setiap penerjemahan sistem sekolah apa adanya.
Pemaknaan yang benar dan apa
adanya, baik dalam konteks konsepsional maupun operasional secara langsung berkontribusi
terhadap pewarnaan dan
pencitraan anak-anak bangsa secara individual maupun
kolektif. Dari sinilah proses internalisasi nilai dapat berkembang secara
efektif dan efisien. Suatu proses dimana fitrah manusia memungkinkan berkembang
konsisten dan dinamis. Proses tabularasa yang
dikehendaki semua manusia yang normal (John Locke) yang terus mengedepankan
perjuangan dengan hakikat kebenaran yang bukan sekedar relatif namun pasti yakni memposisikan manusia tetap
sebagai pemenang atau sebaik-baik ciptaan Tuhan (QS: At Tiin).
Namun demikian, implementasi
keharusan filosofis tersebut dalam perkembangannya, disengaja atau tidak telah
mengalami degradasi. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi logis dari
dinamika individualitas manusia dalam menyikapi setiap denyut nadi kehidupan
yang mengitarinya. Lingkungan ternyata memberikan pewarnaan yang dominan
terhadap tumbuh dan berkembangnya konsep dan implementasi sistem edukasi pada
setiap masyarakat dibanding dengan warisan genetikal yang diturunkan
pendahulunya. Dominasi lingkungan (environment)
yang didukung lemahnya sistem bawaan (hereditas)
serta terbatasnya integritas terhadap diri dan norma yang harus diikuti,
semakin mendegradasi transliterasi sistem sekolah ke tengah-tengah peradaban
masyarakat dengan pasti. Realiatas tersebut akan menjadi semakin menghawatirkan
ketika antara sekolah dan masyarakat melakukan bargaining yang mengedepankan prinsip “enak” daripada “baik” atau
“dipermudah” daripada “mudah” atau “yang penting beres”. Semakin tidak jelaslah
konsep pendidikan berkembang berikut implementasinya. Jalinan cinta kasih
antara dua komponen pendidikan tersebut tak ubahnya seperti sinetron, karena
nilai-nilai filosofis yang mendasarinya telah benar-benar merujuk pada filosofi
sinetron, dengan sistem yang memang sudah tertata apik, diimplementasi dengan
apik, bahkan memberikan pengaruh langsung pada pemirsa, toh ujung-ujungnya “alah…,
hanya sandiwara ya?”. Segalanya serba bersandiwara. Sekolah dengan rekomendasi
masyarakat hanya melahirkan para artis baru dengan menghasilkan karakter yang
hanya “sandiwara”. Lihatlah bagaimana hasil UAN yang tinggi tidak lagi
merepresentasi kualitas yang sesungguhnya. Lihatlah bagaimana sistem manajemen
berbasis sekolah yang justru kurang berdampak signifikan terhadap manajemen
sekolah secara totalitas, dan perhatikanlah pengaruh predikat guru professional
yang ditandai dengan sertifikat profesi kurang mampu menjamin peningkatan
kualitas diri dan lembaganya.
Semuanya hanya berpura-pura, atau
setidak-tidaknya hanya dibuat-buat atau terpaksa melakukannya. Filosofi
pendidikan berbasis filosofi sinetron tak akan mampu melepaskan sekolah dari
predikat “sekolah gagal”. Kesungguhan sebagaimana keseriusan menunaikan
tanggung jawab terhadap amanah “murid” adalah keharusan. Hakikatnya setiap
manusia bisa melakukannya
Komentar