Saat UN diputuskan tetap wajib
dilaksanakan setelah proses negosiasi yang sangat panjang dan alot, setiap
pemangku pendidikan dari semua tingkat sekolah, tidak terkecuali pemangku
bidang studi non UN menahan kecamuk emosi terpendam sekaligus tertindih tekanan
beban berat untuk
menyusun strategi jitu meluluskan murid mereka agar tidak malu dan dipermalukan bahkan terhindar dari “stempel” sekolah gagal.
menyusun strategi jitu meluluskan murid mereka agar tidak malu dan dipermalukan bahkan terhindar dari “stempel” sekolah gagal.
Sebagian orang merefleksi fakta
keterbatasan sarana/prasarana, tipisny
a anggaran pendidikan sebagai dampak terkerangkengnya ruang gerak sekolah dalam optimalisasi peran organisasi orang tua - sekolah, rendahnya minat belajar murid, kurangnya dukungan orang tua, tidak stabilnya kebijakan dibidang pendidikan seperti kurikulum yang rentan berubah sewaktu-waktu, rendahnya kualitas guru hingga semakin lengketnya ranah politik pada ranah pendidikan telah mewarisi ketakutan-ketakutan logis terhadap kebijakan UN.
a anggaran pendidikan sebagai dampak terkerangkengnya ruang gerak sekolah dalam optimalisasi peran organisasi orang tua - sekolah, rendahnya minat belajar murid, kurangnya dukungan orang tua, tidak stabilnya kebijakan dibidang pendidikan seperti kurikulum yang rentan berubah sewaktu-waktu, rendahnya kualitas guru hingga semakin lengketnya ranah politik pada ranah pendidikan telah mewarisi ketakutan-ketakutan logis terhadap kebijakan UN.
Dampaknya, UN hadir bukan sekadar
ujian rasionalitas, lebih dari itu justru didominasi oleh ujian psikologis. Peran
rasio telah benar-benar tergantikan oleh rasa takut yang belebihan. Situasi
tersebut semakin tak masuk akal ketika peserta UN ternyata bukan hanya para
murid yang secara formal sudah tercatat dalam data base nasional, melainkan para
guru dan masyarakat tertentu yang merelakan dirinya untuk “menolong” murid
dengan menawarkan kunci jawaban “aspal”. Kejujuran yang dijunjung tinggipun
terpaksa dipertaruhkan hanya dalam hitungan menit. Yang penting “LULUS”,
walaupun dalam kasus-kasus tertentu justru predikat “TIDAK LULUS” yang
didapatkan. Artinya sekolah gagal dihampir seluruh lini sistem yang
diperjuangkannya selama ini, khususnya keluhuran idealisme.
Banyak pihak
yang berkomentar negatif tentang kegagalan ini, walau juga ada yang positip
(untuk sekedar menghibur diri resiko tinggi). Sebagian kalangan kemudian memvonis
bahwa para guru tidak berusaha maksimal, ternyata sertifikasi tidak linear
dengan prestasi, para pemegang kebijakan di tingkat satuan pendidikan kurang
serius memanaje institusinya, dan lain-lain. Sementara di lain pihak masih ada
yang bangga dengan mengatakan “nilai gagal tetapi sukses dalam pembelajaran kejujuran”
yang berindikasi bahwa orang jujur memang sewajarnya kalah atau gagal. Dan
lain-lain.
Haasibuu Qobla Antuhaasabuu, demikian al Qur’an
mengingatkan. Sebaiknya setiap orang yang terlibat dalam proses sistem
pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung menimbang usaha-usaha yang
telah dilakukannya. Sudah maksimalkah? Apakah policy maker pendidikan
melihat realita yang sebenarnya sebelum memberlakukan ide-ide cemerlangnya? Apakah
para pengamat pendidikan telah melontarkan hasil pengamatannya dengan santun
dan solutif? Apakah mereka jug pantas menjadi model dari apa yang sering
dilontarkannya? Apakah para guru sudah benar-benar melaksanakan tugas
keguruannya secara maksimal dengan cara yang baik? Apakah para guru selalu “well prepared”
sebelum tampil di depan murid-muridnya? Apakah setiap guru selalu terus belajar
tanpa henti sebelum menyajikan materinya kepada para muridnya sesuai dengan
prinsip Allimuu Wa
‘Allamakum! Guru seharusnya belajar terlebih dahulu sebelum menangani
pembelajaran. Apakah setiap guru telah mencoba maksimal tanpa henti melakukan
pembelajaran secara kreatif dengan keterbatasan yang ada? Dan lain-lain.
Dengan cara demikian, akar masalahnya akan lebih
tampak benderang, siapa sebenarnya biang kegagalan.
Komentar