Langsung ke konten utama

Aku Biang Kegagalan Sekolah. (Sekolahku Gagal, bagian 2)


Saat UN diputuskan tetap wajib dilaksanakan setelah proses negosiasi yang sangat panjang dan alot, setiap pemangku pendidikan dari semua tingkat sekolah, tidak terkecuali pemangku bidang studi non UN menahan kecamuk emosi terpendam sekaligus tertindih tekanan beban berat untuk
menyusun strategi jitu meluluskan murid mereka agar tidak malu dan dipermalukan bahkan terhindar dari “stempel” sekolah gagal.
Sebagian orang merefleksi fakta keterbatasan sarana/prasarana, tipisny
a anggaran pendidikan sebagai dampak terkerangkengnya ruang gerak sekolah dalam optimalisasi peran organisasi orang tua - sekolah, rendahnya minat belajar murid, kurangnya dukungan orang tua, tidak stabilnya kebijakan dibidang pendidikan seperti kurikulum yang rentan berubah sewaktu-waktu, rendahnya kualitas guru hingga semakin lengketnya ranah politik pada ranah pendidikan telah mewarisi ketakutan-ketakutan logis terhadap kebijakan UN.
Dampaknya, UN hadir bukan sekadar ujian rasionalitas, lebih dari itu justru didominasi oleh ujian psikologis. Peran rasio telah benar-benar tergantikan oleh rasa takut yang belebihan. Situasi tersebut semakin tak masuk akal ketika peserta UN ternyata bukan hanya para murid yang secara formal sudah tercatat dalam data base nasional, melainkan para guru dan masyarakat tertentu yang merelakan dirinya untuk “menolong” murid dengan menawarkan kunci jawaban “aspal”. Kejujuran yang dijunjung tinggipun terpaksa dipertaruhkan hanya dalam hitungan menit. Yang penting “LULUS”, walaupun dalam kasus-kasus tertentu justru predikat “TIDAK LULUS” yang didapatkan. Artinya sekolah gagal dihampir seluruh lini sistem yang diperjuangkannya selama ini, khususnya keluhuran idealisme.
Banyak pihak yang berkomentar negatif tentang kegagalan ini, walau juga ada yang positip (untuk sekedar menghibur diri resiko tinggi). Sebagian kalangan kemudian memvonis bahwa para guru tidak berusaha maksimal, ternyata sertifikasi tidak linear dengan prestasi, para pemegang kebijakan di tingkat satuan pendidikan kurang serius memanaje institusinya, dan lain-lain. Sementara di lain pihak masih ada yang bangga dengan mengatakan “nilai gagal tetapi sukses dalam pembelajaran kejujuran” yang berindikasi bahwa orang jujur memang sewajarnya kalah atau gagal. Dan lain-lain.
Haasibuu Qobla Antuhaasabuu, demikian al Qur’an mengingatkan. Sebaiknya setiap orang yang terlibat dalam proses sistem pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung menimbang usaha-usaha yang telah dilakukannya. Sudah maksimalkah? Apakah policy maker pendidikan melihat realita yang sebenarnya sebelum memberlakukan ide-ide cemerlangnya? Apakah para pengamat pendidikan telah melontarkan hasil pengamatannya dengan santun dan solutif? Apakah mereka jug pantas menjadi model dari apa yang sering dilontarkannya? Apakah para guru sudah benar-benar melaksanakan tugas keguruannya secara maksimal dengan cara yang baik? Apakah para guru selalu “well prepared” sebelum tampil di depan murid-muridnya? Apakah setiap guru selalu terus belajar tanpa henti sebelum menyajikan materinya kepada para muridnya sesuai dengan prinsip Allimuu Wa ‘Allamakum! Guru seharusnya belajar terlebih dahulu sebelum menangani pembelajaran. Apakah setiap guru telah mencoba maksimal tanpa henti melakukan pembelajaran secara kreatif dengan keterbatasan yang ada? Dan lain-lain.
Dengan cara demikian, akar masalahnya akan lebih tampak benderang, siapa sebenarnya biang kegagalan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wiro Sableng #98 : Rahasia Cinta Tua Gila

WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito Episode : TUA GILA DARI ANDALAS SATU Sepasang mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang tegak di hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya. "Siang telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi undangan." Si cadar kuning berkata. Sabai Nan Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa kali bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam hati Sabai Nan Rancak berkata. "Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya dia mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku dia seorang perempuan." "Waktuku tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuhar

ORANG BESAR

Orang "besar" keturunan orang "besar" itu sudah biasa, karena mereka memang memiliki kesempatan terbuka untuk meraihnya. Tetapi menjadi "besar" di bawah sempitnya kesempatan memilikinya adalah luar biasa. Ketahuilah, bahwa setiap orang berhak meraihnya, apapun keadaannya. Bondowoso, Mei 2014 Al faqir

Malaikat Kecil

Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, "Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan." Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Lala tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (curd rice). Lala anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibuku dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada ?cooling effect? (menurunkan panas dalam). Aku mengambil mangkok dan berkata, "Lala sayang, demi Papa, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti Mamamu akan teriak2 sama Papa." Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Lala mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata ?Papa, aku akan makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan aku habi