Langsung ke konten utama

IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 TAK KAN BERHASIL

Lima dari delapan rumusan tujuan Pendidikan Nasional, yang dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-undang No. 20 Th. 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan pada aspek karakter (akhlaq) daripada pengetahuan dan keterampilan. Setelah dilakukan telaah terhadap eksperimen kurikulum yang sudah dilaksanakan, disimpulkan bahwa KBK dan KTSP-pun dianggap gagal untuk memfasilitasi raihan tujuan tersebut. Dan penetapan implementasi Kurikulum 2013 (selanjutnya K-13) yang mengarah pada penguatan substansi nilai karakter, merupakan keputusan final yang diyakini mampu memfasilitasi idealitas perundangan tersebut.

Atas keyakinan tersebut, Pemerintah dengan serta merta (sebagian orang menganggap memaksakan) menyusun kebijakan teknis implementatif, mulai dari desain konten sampai desain distribusi kompetensi konten melalui workshop, bimtek, seminar, lokakarya, Diklat dan sejenisnya. Semuanya dilakukan atas dasar keyakinan bahwa K-13 merupakan jalan keluar paling utama atas masalah ketidaksesuaian fakta-fakta out-put pendidikan dengan tujuan mulia pendidikan tersebut.

Namun demikian, penulis tidak yakin bahwa upaya tersebut akan membuahkan hasil yang signifikan, karena beberapa fakta yang terjadi selama proses implementasi tersebut di lapangan.

Pertama,
lemahnya integrasi nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan K-13 ke dalam keseluruhan aspek sistem sekolah, khususnya tenaga pendidik dan budaya lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Nilai-nilai karakter yang harus dikembangkan dalam K-13, lebih banyak bersifat administratif, dan kurang integratif terhadap kepribadian tenaga pendidik. K-13 sekadar menyentuh aspek kognisi tenaga pendidik daripada kepribadian mereka sebagai orang pertama dan utama di sekolah yang dapat diteladani dan dipatuhi. Demikian juga halnya dengan tidak adanya upaya penguatan nilai-nilai karakter pembelajaran yang integratif dengan budaya sekolah. Sentuhan-sentuhan integratif nilai karakter tersebut seolah dikesampingkan.

Kedua, masih terjadi dis-orientasi esensi dengan substansi K-13 itu sendiri. Penetapan guru dan KS IN, tidak berbasis nilai karakter. Dampaknya, saat para guru dan KS IN menyelenggarakan/memandu kegiatan Workshop, seolah tidak menyentuh substansi nilai karakter substantif yang ingin diraih. Kebanyakan mereka hanya melakukan distribusi informasi yang sangat miskin dengan nilai karakter. Terlebih lagi jika yang bersangkutan justru tampil sebagai orang (yang merasa) terhebat yang membahasakan K-13 sebatas versi dirinya dan orang yang melatihnya, bukan menurut bahasa sahabat yang dihadapinya dan bukan pada karakteristik konteks nyata yang pasti dihadapinya. 

Ketiga, fakta-fakta pendidikan lain menunjukkan bahwa, apapun kurikulum yang dipakai dan diterapkan, hanya pendidikan berbasis agama saja yang kebanyakan berhasil meletakkan dasar nilai karakter dalam konteks implementatif. Contoh sederhana adalah Pondok Pesantren, yang notabene mengandalkan kajian kitab klasik dengan sistem pengajaran klasik, dipandu oleh para Kyai/Pengasuh yang mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan formal, tetapi berhasil. Artinya, penanaman nilai karakter hendaknya didukung oleh kearifan qolbiyah para tenaga pendidiknya yang senantiasa mewujud ke dalam keseharian mereka. Mereka tidak saja mengajar, tetapi senantiasa mendoakan para muridnya. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang berani mengorbankan jiwa, raga, dan hartanya untuk kebaikan santrinya. (Dan ini sulit dijumpai oleh para tenaga pendidik formal).

Keempat, tidak sedikit para tenaga pendidik (peserta dan narasumber) yang masih bingung dengan konsep-konsep K-13. Kebingungan tersebut sangat erat dengan bagaimana K-13 tersebut harus ditegakkan secara nyata. Dan “bingung”nya mereka tidak dapat diselesaikan hingga mereka benar-benar berhadapan dengan kenyataan dimana mereka sudah harus berada di dalam kelas, dan harus menanamkan karakter kepada para muridnya, bukan mempolakan nilai karakter pada peserta didiknya saja, melainkan utamanya pada dirinya sendiri terlebih dahulu.

Kelima, rumitnya konsep K-13, telah benar-benar menggiring mereka untuk tetap berada pada masa lalu mereka (statusquo), yakni mengajar dengan pendekatan, metode, bahkan konten kurikulum sebelumnya. Walaupun sudah dijejali dengan materi perubahan mind-set, tetapi materi tersebut benar-benar tidak menggugah hati, pikiran, dan kecenderungan sikap dan perilaku mereka, karena materinya disajikan dengan sangat administratif, bukan substantif, dan oleh narasumber yang memiliki keyakinan tinggi secara teoritik.

Singkatnya, implementasi kurikulum 2013 tidak akan pernah berhasil. Karena sebagai embrio baru yang hebat, K-13 tidak memiliki kesempatan untuk berkembang dalam berbagai dimensi yang dibutuhkannya. K-13 hanya akan menjadi embrio perubahan yang hebat, dan akan terus tersiksa dengan kehebatannya.


Malang, 22 Juni 2014
Al Faqir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lelah atau Pahala Berlimpah (Sekolahku Gagal Bag. 6)

Tidak ada profesi yang lebih mulia dari pada profesi pendidik. Kemulian tersebut tidak datang secara otomatis, melainkan harus diperjuangkan. Tujuan perjuangan tersebut hanya satu, yakni memuliakan manusia yang memang sudah mulia sejak penciptannya. Pendidik adalah kholifah , yang berkewajiban untuk mensyiarkan kebenaran dengan kesanggupan untuk menjadi teladan atas kebenaran itu

Rapor SMA-MA-SMK

Berikut ini model dan aplikasi penilaian untuk rapor pada kurikulum 2013. Format-format tersebut hendaknya diedit terlebih dahulu untuk diadaptasikan dengan konteks satuan pendidikan masing-masing. Lebih jelasnya, silahka  klik link berikut ini: Model Rapor SMA-MA-SMK Aplikasi Penilaian SMA-MA-SMK lebih lanjut, Anda dapat berkelana ke: guraru.org, dan koko-jumiko.blogspot.com